22 Maret 2022
KENIKMATAN SINGGASANA GURU
Dra. Rosnawati, M,Hum
Jika dilakukan survei pada peserta didik (TK,SD,SMP,SMA) mengenai cita-cita mereka, kita pasti banyak menemukan jawaban yang disampaikan dengan penuh semangat dan antusias; “cita-cita saya mau jadi dokter, mau jadi polisi, jadi apoteker, jadi pramugari” dan keinginan lain yang dianggap keren dan hebat.
Pada saat pendataan pekerjaan orang tua siswa, dengan bangga dan lantang mereka menyebut profesi orang tuanya; “Bapak saya jaksa dan ibu bendahara , bapak saya polisi danibu anggota DPR, bapak saya camat dan ibu pegawai bank, bapak saya dosen dan ibu notaris” serta profesi lain yang kedengarannya berprestise.
Dari sederetan daftar cita-cita atau impian anak-anak hari ini, sepertinya menjadi asing di telinga kita jika ada yang berkeinginan menjadi guru. Kalaupun ada, hal itu tidak diungkapkan karena barangkali dianggap kurang bergengsi seperti cita-cita yang lain. Demikian pula halnya dengan pekerjaan orang tua yang berprofesi sebagai guru, jika ada yang bertanya, maka anak tersebut menjawab dengan nada rendah dibarengi ekspresi datar; “hanya guruji saja kasian”(ini pernyataan lama). Walaupun begitu,kita yakin bahwa jawaban seperti itu hanya terucap dari mereka yang tidak faham dengan eksistensi guru serta berbagai dinamikanya. Namun bagi mereka yang mengerti kesejatian dan kebermaknaan guru, pasti juga akan menyebutkan profesi orang tua sama bangganya dengan pekerjaan/profesi lain, bahkan bisa saja lebih lantang dan semangat berkata; “kedua orang tua saya adalah G U R U. Saya sangat bersyukur menjadi anak seorang guru!”.
Menjalani profesi guru bagi sebagian orang tentu memang sudah menjadi cita-cita sejak di bangku sekolah, misalnya saja setelah tamat SLTP lalu mendaftar ke SPG, selain itu ada pula yang mengikuti Kursus Pendidikan Guru (KPG). Bagi yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi mereka akan memilih IKIP, STIKIP dan FKIP. Dengan pilihan tersebut berarti sejak awal sudah siap lahir bathin untuk menjadi guru, siap mencurahkan jiwa raganya untuk membangun dan mencerdaskan anak bangsa. Dengan demikian, kita tidak akan pernah mendengar pernyataan; ‘kebetulan/terpaksa menjadi guru’ karena memang betul-betul sudah direncanakan dengan matang dan tidak ada unsur paksaan dan tekanan dari siapa pun.
Tidak dapat dipungkiri kenyataan di lapangan bahwa tidak semua lulusan LPTK mau dan siap menjadi guru, bahkan ada yang memilih pekerjaan yang tidak berhubungan dengan kependidikan. Sebaliknya, banyak yang berlatar belakang non- keguruan tetapi mau menjadi guru dengan berusaha mengikuti program akta IV sebagai syarat mendapat kewenangan formal untuk mengajar. Semoga hal tersebut tidak dijadikan sebagai alternatif terakhir setelah peluang di tempat lain semakin sempit. Apalagi jika dianggap sebagai pelarian dan merasa terdampar menjadi guru. Akan tetapi, memang merupakan satu pilihan dan keputusan terbaik diantara yang lain meskipun bukan pilihan dari awal.
Ketika sudah bertekad mengambil keputusan memilih menjadi guru, maka ceburkanlah diri secara totalitas ke dalam dunia keguruan. Jangan pernah membandingkan profesi kita dengan yang lain, karena semua aspek memang berbeda dalam segala hal terutama unsur subyek/sentral pendidikan (peserta didik) yang akan dibangun.Misalnya saja membandingkan dengan dosen yang menghadapi mahasiswa.Strategi dan pendekatan pembelajaran sudah pasti berbeda. Untuk mahasiswa tentu lebih mudah dan punya kenyamanan tersendiri ketika dosen berada di depan mereka, ‘kan sudah ‘siswa yang maha’ artinya, mereka sudah memiliki wawasan, pola pikir, pola sikap dan pola tindak sudah jauh berbeda ketika masih menjadi siswa sehingga diarahkan sedikit saja mereka tanggap. Materi perkuliahan disajikan tidak perlu terinci, cukup gambaran singkat saja, selebihnya mahasiswa mengeksplor sendiri untuk menemukan pola ilmunya. Sangat jauh berbeda ketika kita berhadapan dengan siswa. Disinilah letak esensi perjuangan seorang guru. Oleh karena itu, betapapun hebat dan ahlinya seorang dosen dalam bidang keilmuan dan akademik, toh pada akhirnya kembali menjadi ‘Maha Guru dan Guru Besar’ bukan ‘Maha Dosen dan Dosen Besar’.
Setiap orang mampu merancang suatu bangunan lalu mewujudkan dalam bentuk fisik. Jika semua material tersedia, maka dalam waktu singkat bangunan semegah apa pun dapat diselesaikan. Namun tidak demikian halnya dengan membangun manusia (peserta didik), butuh waktu dan proses yang panjang. Apa yang dilakukan oleh guru hari ini seperti; mengajar, mendidik,membimbing, membina, dlsb tidak dapat dilihat hasilnya seketika. Akan tetapi, semua itu terus mengendap dan mengkristal dalam sanubari anak yang mengantarkannya tumbuh dan berkembang menjadi insan sejati.
Menyelami dan melakoni hakikat profesi guru sebagai suatu wadah untuk mencetak amal jariah yang paling abadi (ilmu yang bermanfaat). Betapa tidak, dengan ilmu atau nilai-nilai kebaikan yang pernah kita tuangkan kepada anak didik sehingga mereka menjadi baik, lalu kebaikan itu ditularkan lagi kepada orang lain, demikian seterusnya. Pada akhirnya, pahala dari amalan-amalan ilmu tersebut akan terus mengalir kepada sumbernya.Nah!di sini pula letak kekayaan guru yang tidak akan pernah habis, serta sumber ketenangan batin yang tak pernah kering. Apabila semuanya digeluti dengan ikhlas dan niat yang suci.
Setelah manusia meninggalkan dunia fana, maka terputuslah segala amal perbuatannya kecuali 3 hal yakni; sedekah jariah, anak sholeh dan ilmu yang bermanfaat. Segala sesuatu yang pernah disumbangkan/disedekahkan ke jalan Allah, selagi itu masih digunakan maka pahalanya akan terus mengalir, tetapi sekiranya itu tidak lagi digunakan sebagaimana mestinya, maka pahalnya juga akan terputus. Demikian pula dengan doa anak sholeh/sholehah, selagi mereka masih hidup dan terus mendoakan keselamatan orang tuanya maka doa tersebut akan diijabah oleh Allah SWT. Akan tetapi setelah anak tersebut juga meninggal maka terhentilah doanya. Lain halnya dengan ilmu yang bermanfaat dan diamalkan oleh gurukepada anak didiknya,itu akan terus mengalir tak berbatas waktu, zaman, dan alam (dunia dan akhirat).
Eksistensi guru yang harus diemban dalam dunia pendidikan secara eksplisit tertuang dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang SPN yang menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menelaah fungsi dan peran guru yang harus mengemban amanat UU tersebut menjadi pondasi untuk betul-betul melaksanakannya dengan baik. Oleh sebab itu, segala aktifitas pembelajaran sepatutnya selalu mengacu pada isi amanat Undang-Undang Pendidikan. Misalnya saja, pada setiap kegiatan belajar mengajar agar senantiasa menyisipkan aspek pendidikan moral, akhlak, etika dan nilai kemanusiaan. Jadi kita tidak hanya berorientasi pada materi bidang studi semata untuk menjejali kognisi siswa meraih prestasi akademik serta menyelesaikan target kurikulum. Namun jika keduanya bisa berjalan berdampingan antara budi pekerti dan akademik, itu lebih sempurna dan menjadi harapan utama bangsa dan negara.
Betapa mulia dan agungnya apabila guru selalu berupaya semaksimal mungkin untuk memaknai detail-detail isi UU SPN dalam rangka mengantar peserta didik untuk hidup, tumbuh dan berkembang menjadi manusia seutuhnya. Di sinilah substansi hakikat guru untuk menjadikan setiap tingkah laku dan tutur kata di depan peserta didik bernilai ibadah, sekaligus sebagai sarana meraup pahala serta menjadi ladang amal yang berkepanjangan, terus akan mengalir dan dinikmati sampai di singgasana keabadian. insyaAllah!
Seandainya saja Tuhan meminjamkan umur kepada guru sampai menjalani waktu pensiun, maka sekitar 35 tahun kita meleburkan diri untuk menabur ilmu, menyemai kasih sayang kepada anak didik. Namuin hal itu tidak perlu dikalkulasi, cukuplah jika kita terus melakukan introspeksi nilai pengabdian. Apakah selama ini kita sudah berbuat maksimal sesuai dengan kompetensi yang kita miliki? Ataukah banyak hal yang terlewatkan sia-sia? Dan berbagai pertanyaan berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab guru yang perlu kita sikapi dengan bijak, agar menjadi bahan baku untuk membangun keteduhan singgasana di negeri akhirat sana.
( Penulis adalah Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Kolaka ).